Hak keterwakilan dalam politik masih terus jadi problem bagi masyarakat adat. Itu bisa dilihat dari berbagai persoalan yang menyasar masyarakat adat. Misalnya, kerap disulitkan dengan persoalan administrasi kependudukan yang sering menjadi masalah sehingga kesulitan menyalurkan aspirasinya dalam politik elektoral. Selain itu, tidak adanya pengakuan atas proses penentuan representasi melalui musyawarah adat, menambah problem bagi masyarakat adat.
Persoalan umum lain yang membuat tingkat partisipasi masyarakat adat diduga rendah diakibatkan sosialisasi pemilu dan politik tidak sampai ke banyak kelompok masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sekitar satu juta masyarakat adat tidak bisa menyalurkan hak pilihnya dalam pemilu 2019.
Melihat beragam persoalan itu, harus ditegaskan bahwa perlu ada pendekatan kohesivitas (kultural). Ini penting agar partisipasi pemilih dalam pemilu bisa meningkat dan berkualitas.
Lewat refleksi-refleksi dari tahun ke tahun, gerakan masyarakat adat di Sulawesi Utara tiba pada satu kesadaran bahwa beragam persoalan tersebut harus diselesaikan oleh masyarakat adat itu sendiri. Hal inilah yang mendasari kalau masyarakat adat harus turut aktif melibatkan diri dalam setiap proses politik. Baik sebagai peserta, maupun penyelenggara.
Lebih dari 1 dekade gerakan masyarakat adat di Sulut gencar menyiapkan kadernya. Para kader masyarakat adat terus ditingkatkan kapasitasnya. Diskusi-diskusi dan berbagai pelatihan intens digelar. Mereka dilibatkan dalam berbagai proses. Termasuk aktif melibatkan diri sebagai pemantau pemilu.
Melihat dan belajar dari dekat berbagai persoalan yang menimpa masyarakat adat dalam proses demokrasi tanah air membuat tekad semakin bulat, bahwa sudah waktunya masyarakat adat untuk masuk ke dalam sistem. Tekadnya untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap masih abai dalam mengakomodir hak-hak politik masyarakat adat itu sendiri.
Sayangnya, di tengah semangat yang kian bulat itu, tekad masyarakat adat kembali dibuat sirna. Setelah melewati proses panjang penuh pembelajaran, gerakan masyarakat adat di Sulut kembali dibuat kecewa.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor 739 adalah musababnya. Keputusan tersebut kian menambah deretan panjang kekeliruan cara pandang negara terhadap masyarakat adat. Keputusan yang mengumumkan nama-nama calon Anggota KPU pada 44 Kabupaten/Kota di 5 Provinsi tersebut seakan melegitimasi anggapan kalau masyarakat adat tidak punya ruang dan kesempatan untuk mengakses hak politiknya. Keputusan ini memperpanjang problem kalau masyarakat adat tidak diperkenankan mendapatkan hak keterwakilan dalam politik.
Masyarakat adat dibuat kalah. Bukan karena kapasitas, tapi karena tidak difasilitasi. Kesempatan itu ditutup rapat-rapat. Terlihat dari sederet nama yang muncul sebagai anggota KPU terpilih pada 7 Kabupaten/Kota, nyaris tak ada orang yang dianggap memiliki keberpihakannya terhadap masyarakat adat. Padahal ada banyak persoalan masyarakat adat yang harus segera diselesaikan.
Lagi-lagi masyarakat adat kembali tak punya representasi. Pengumuman tersebut berhasil menambah deretan kekecewaan terhadap negara. Masyarakat adat seakan dibuat tak ada pilihan. Seakan terus dipaksakan jadi tamu di atas tanahnya sendiri. Kedaulatan masyarakat adat pun akhirnya seakan diperkosa.
AMAN Sulut terus merekam berbagai kekecewaan masyarakat adat yang ada di 150 komunitas adat dan berbagai gerakan sosial lainnya. Sebagai respons atas kekecewaan tersebut, maka AMAN Sulut berencana bakal menggelar konsolidasi masyarakat adat dan ormas-ormas adat Sulut untuk menindaklanjuti persoalan ini.
Kharisma Kurama
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Sulut