Oleh: Eka Egeten (Jurnalis, Bergiat di Komunitas Penulis Mapatik)
Bercerita politik perempuan dalam konteks Indonesia di dekade ini, terlebih khusus perempuan muslim, pastinya tak akan lepas dari berbagai letupan perdebatan. Fakta, kedudukan perempuan dalam politik seringkali masuk pada tingkatan kedua. Sistem partirarki yang telah mengakar dalam sendi kebudayaan dan agama masyarakat Indonesia, seolah-olah tidak bisa diubah.
Istilah politik seharusnya dikembalikan pada rel semestinya. Secara teoritis seperti yang diungkapkan J. Verkuyt, dalam bukunya Etika Kristen: Ras Bangsa Gereja dan Negara, istilah politik berasal dari bahasa Yunani, politte. Kata ini keluar dari kata polis. Menurutnya, pada mulanya kata polis dalam bahasa Yunani adalah benteng, lalu berkembang menjadi kota, dan akhirnya menjadi negara.
Hal senada pun diungkapkan K. Bertens, dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani.
Menurutnya, kata polis ini berkembang ke kata polites yang berarti warga negara, lalu ke politea yang berarti tata negara, dan ke politekos yang berarti negarawan. Dari istilah tersebut dapat juga dikatakan bahwa politik adalah ilmu dan seni mengatur negara. Lebih lanjut bisa dipahami, semua manusia, laki-laki maupun perempuan, juga mempunyai kedudukan yang sama untuk mempelajari, mengkaji, bahkan terlibat langsung dalam seni untuk mengatur negara.
Sekilas kita mendudukkan kembali istilah perempuan. “Perempuan berasal dari bahasa Melayu yang terdiri dari dua kata, yaitu empu yang berarti ibu dan puan yang merupakan bentuk feminis dari tuan,” ungkap Marrie C. Barth dalam bukunya Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu.
Marianne Kattopo mengutarakan jika di Indonesia, kata asli untuk perempuan berasal dari kata empu, yang biasanya diterjemahkan sebagai berdaulat atau santa atau ibu.
“Bagaimana pun juga hal itu menggambarkan seseorang dengan pengetahuan, keterampilan, kebudayaan yang unggul seperti yang diperlihatkan dalam empu Mada, yaitu Tuan Mada yang juga dikenal sebagai Gajah Mada, perdana menteri kesohor dari kerjaan Majapahit. Empu diartikan berdaulat ataupun ibu, sekurang-kurangnya hal itu menandakan bahwa kedudukan perempuan cukup tinggi,” ujar Marianne Kattopo dalam bukunya Compassionate And Free: Tersentuh dan Bebas.
Menurut Kattopo, masyarakat Indonesia tidak begitu berorentasi pada prestasi melainkan lebih berorentasi pada hubungan-hubungan. Kalau perempuan, dalam konstelasi hubungan-hubungan ini, menempati suatu kedudukan yang penting, maka hal-hal itu akan membantunya untuk lebih meyakinkan martabat dan harga dirinya.
Kattopo menegaskan, ia (perempuan) tidak perlu merupakan seorang ibu secara biologis. Namun di dalam hubungannya dengan anak-anak orang lain ia dapat merupakan seorang ibu, mengasihi mereka dan mengajar mereka. Hal yang sama berlaku bagi seorang pria.
Kattopo juga menjelaskan, perempuan memainkan peran penting, bahkan peranan yang tidak dapat ditiadakan, dalam proses produksi dan reproduksi. Itu sebabnya kaum perempuan memiliki status yang tinggi dalam masyarakat matriakal di masa lampau. Di masyarakat-masyakat tersebut – penyembahan-penyembah Dewi – seksualitas, membesarkan anak, dan organisasi sosial di atur oleh komunalitas dan kelompok kekerabatan, dan tidak oleh sekelompok kecil pria.
Bercakap tentang Islam dan politik, ibaratnya kita membicarakan mengenai kembar siam yang hanya mempunyai satu jantung. Karenanya, tidak mungkin dipisahkan. Dalam arti bahwa Islam bukan hanya merupakan suatu agama yang mengatur tata ibadah di mana hubungan-hubungan spiritual dari pada umatnya dipelihara dan dikembangkan, akan tetapi sekaligus Islam merupakan suatu aspirasi politik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara, menyebutkan jika Islam adalah sebuah agama multiinterpretatif, yang membuka kemungkinan kepada banyak penafsir mengenainya.
Perbincangan mengenai hak-hak politik perempuan dalam tradisi Islam, melahirkan dua aliran besar. Pertama, aliran yang mengingkari politik bagi kaum perempuan yang memahami Hadis bahwa tidak akan berjaya suatu kaum, bangsa yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan. Dan aliran kedua, aliran yang berpendapat bahwa sesuai Hadis bahwa Islam mengakui adanya hak-hak politik bagi perempuan.
Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat, terutama dalam konteks Indonesia, peran politik perempuan masih sangat minim. Masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan yakni ada dugaan bahwa di Islam hak perempuan dalam politik masih ada bentuk diskriminasi. Dalam arti bahwa masih ada upaya-upaya untuk “merumahkan” kembali perempuan yang sudah terjun di publik atas nama agama.
Selain ada upaya merumahkan kembali perempuan, budaya patriakal yang sudah berakar sejak lama sulit untuk dilepaskan. Misalnya dalam lingkungan terkecil pun seperti keluarga, laki-laki dipandang sebagai kepala keluarga sehingga perempuan harus patuh dan tunduk kepada laki-laki. Dari hal tersebut nampak bahwa nuansa laki-laki sangat kuat dan perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas kedua. Lebih parahnya lagi, ada anggapan bahwa perempuan itu lemah dan tidak sepatutnya bergelut dan berkecimpung di dunia politik.
Dampak dari kondisi patriakal, pengkondisian turun-temurun yang menempatkan laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang domestik. Begitu Siti Musdah Mulia menulisnya dalam buku Muslimah Reformis. Ia melihat, dunia politik selalu digambarkan berkarakter maskulin yakni keras, rasional, kompetitif, tegas, serba “kotor” dan menakutkan sehingga pantas buat laki-laki. Sebaliknya, ruang domestik berkarakter feminim, lemah lembut, emosional, penurut, suka mengalah, seakan hendak meyakinkan bahwa tugas tersebut cocok dan mulia bagi perempuan sebagai istri, ibu atau pengurus rumah tangga.
Status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis. Kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan perkembangan yang cukup signifikan bagi kondisi feminisme di Indonesia.
Akan tetapi keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kouta 30 persen untuk perempuan di parlemen, masih ada pembatasan. Jadi, ditinjau dengan hitungan statis berdasarkan jumlah, masih dinilai tidak adil. Hak perempuan hanya 30 persen dan laki-laki 70 persen. (*)